Menelisik Realita Money Politics: Pembelajaran Menuju Pemilu 2024

- Senin, 22 Mei 2023 | 00:26 WIB
Politik Uang/Politik Kantung Nasi (Berbagai Sumber - Kabarbuana.com)
Politik Uang/Politik Kantung Nasi (Berbagai Sumber - Kabarbuana.com)

Maulana Junaedi

KABARBUANA.COM - Rotasi kepemimpinan di Indonesia sebagai bentuk representasi kehidupan demokrasi dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luberjurdil). Pelaksanaan pemilu disebut juga sebagai pesta demokrasi. Hal ini sejalan dengan konsep kedaulatan rakyat, dimana rakyat bebas memilih wakil-wakil mereka untuk mengemban dan melanjutkan kekuasaannya guna mewujudkan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.

Namun sangat disayangkan, setiap proses pelaksanaan pemilu baik pemilihan legislatif (Pilpres), pemilihan kepala daerah (Pilkada), maupun pemilihan presiden (Pilpres) sering kali ditemukan praktik politik uang atau money politics yang dilakukan oleh calon wakil rakyat itu sendiri maupun dari tim sukses kemenangan. Tidak lain tujuan dari politik uang adalah untuk mengambil hati masyarakat dan mengalihkan suaranya kepada calon wakil rakyat tersebut sehingga diperoleh kemenangan dalam kontestasi politik.

Persepsi yang masih tertanam dan berkembang dewasa ini dan sebetulnya tidak dapat dibenarkan adalah suara rakyat dapat dibeli dengan uang. Persepsi ini yang membuat praktik politik uang di setiap pemilihan umum semakin merajalela terlebih dimasa-masa kampanye.

Baca Juga: Kasus Korupsi BTS: Kontroversi Penetapan Tersangka Menteri Johnny Plate, Ada Keterlibatan Politik?

Money politics atau politik uang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah uang sogokan. Dapat juga diartikan penyogokan dalam bentuk hadiah, baik hadiah berupa barang maupun uang. Hal ini ditegaskan oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra, pakar ketatanegaraan Universitas Indonesia.

Contoh kecil money politics terwujud dalam model pemberian uang tunai langsung kepada masyarakat maupun pemberian sembako gratis dalam jumlah banyak. Ada lagi seperti pemberian fasilitas-fasilitas khsusus kepada kelompok masyarakat tertentu dan lain sebagainya.

Catatan yang dikeluarkan Burhanudin Muhtadi, dkk menunjukan money politics dalam pemilu 2019 melibatkan jumlah pemilih yang cukup besar yaitu mencapai angka 19,4% hingga 33,1%. Sejalan dengan catatan tersebut, bahkan lebih besar ditemukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekarang bernama  Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada penelitiannya tentang kekejian politik transaksional pada pemilu 2019 angkanya menunjukan sampai 50% lebih.

Praktik politik uang merupakan salah satu praktik buruk yang mencoreng nilai positif demokrasi. Sejatinya, tindakan politik uang termasuk sebagai pelanggaran kampanye. Hal ini tertuang dalam pasal 73 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Baca Juga: Sempat Dibahas Dalam Pidato AHY, Ini Penjelasan Tentang Banana Republic Pada Bidang Politik

Mirisnya, masih banyak masyarakat yang menganggap praktik ini merupakan kewajaran. Anggapan seperti itu justru memberikan sinyal bahwasanya suara masyararakat begitu murah harganya dan mematahkan ide gagasan yang seharusnya dijadikan bahan pertimbangan oleh masyarakat dalam memilih calon wakil rakyat.

Dalam kontestasi pemilu, seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai pemimpin dan pengemban kekuasaan rakyat baik melalui pilkada, pileg, maupun pilpres hendaknya harus dibangun pertarungan dan kompetisi ide gagasan. Karena itulah yang akan dibawa selama masa jabatan berlangsung dan senantiasa berbicara tentang visi misi yang mampu memberikan kesejahteraan bagi orang banyak.

Konsentrasi proses menuju pemilu yang menjunjung tinggi pertarungan kualitas ide dan menyingkirkan cara-cara politik uang, ketika calon wakil wakyat terpilih tentu akan bekerja lebih professional dan mengutamakan kepentingan masyarakat dalam pengambilan kebijakan. Tidak hanya itu, perilaku korupsi yang menjadi musuh besar negara saat ini juga dapat diminimalisir bahkan bisa hilang perlahan dengan baik.

Berbeda halnya apabila calon wakil rakyat dalam kontestasi politik menggunakan politik uang, ketika mereka terpilih tentu dalam bekerja rentan terhadap tindakan melawan hukum seperti korupsi. Hal ini sangat mungkin terjadi karena memikirkan bagaimana uang yang telah habis digunakan untuk praktik politik uang itu bisa kembali dan tidak ada kerugian dalam politik. Analoginya seperti berusaha keras mengembalikan modal dagang. Namun bedanya, ini lebih keji.

Halaman:

Editor: Alfian Hidayat

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

X