• Rabu, 27 September 2023

Sejarah Pancasila (Bagian III): Antara Pengaruh Asing dan Kepribadian Bangsa

- Kamis, 1 Juni 2023 | 09:10 WIB
Dr. Ahwan Fanani - Sejarah Pancasila (Kabarbuana.com)
Dr. Ahwan Fanani - Sejarah Pancasila (Kabarbuana.com)

 

Oleh Ahwan Fanani

Banyak pakar yang berpendapat bahwa Pancasila berasal dari bumi Indonesia, bahkan sebelum abad ke-24 dan lebih jauh lagi. C.S.T Kansil, dalam _Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Dasar Falsafah Negara- kJakarta: PT Pradnya Paramita.1977. 44-45), menyatakan bahwa sebagai way of life dan kepribadian bangsa Indonesia telah ada semenjak orang Indonesia hidup di Nusantara sebagai karunia Tuhan. Ia menegaskan: "Pancasila sebagai falsafah negara tidaklah lahir dari sumber-sumber asing, tetapi berpancar dari sumber yang terdapat di bumi Indonesia sendiri, yang merupakan sublimasi dari unsur-unsur hidup dan kehidupan bangsa Indonesia, baik materiil maupun spirituil...."

Pernyataan tersebut tampak terlalu melebihkan unsur internal dan mengabaikan bahwa produk kultural pun, termasuk falsafah hidup, mengalami perkembangan akibat percampuran kebudayaan. Bangsa Indonesia tidak hidup secara eksklusif, laksana di hutan belantara, tetapi berhubungan dengan bangsa lain ribuan tahun lalu dan menyerap berbagai pengaruh positif. Persentuhan dengan berbagai kebudayaan sudah berlangsung ribuan tahun melalui jalur perdagangan. Hal itu merupakan fakta yang tidak sejalan dengan kecenderungan eksklusivisme yang berkembang dalam memahami akar Pancasila. Para perumus Pancasila pun sangat familier dengan peradaban Islam, Eropa, China dan perkembangan pemikiran dunia saat itu.

Roeslan Abdulgani lebih setuju dengan pandangan moderat George Kahin. Kahin, sebagaimana dikutip Abdulgani dalam Pancasila Ideologi Pemersatu h. 6, berpendapat bahwa Pancasila adalah falsafah yang matang, suatu sintesis dari ide-ide Islam modern, demokrasi modern, Marxisme, ide-ide demokrasi desa-asli dan komunalisme asli. Itu adalah lukisan psikologis semua revolusi dalam melawan Penjajahan.

Abdulgani punya pandangan yang terbuka, tetapi juga kritis. Menurutnya, Indonesia merdeka di tengah-tengah kenyataan negara-negara Asia dan Afrika yang berbeda. Ada negara yang berasaskan ideologi liberalisme, ada negara-negara yang berasaskan sosialisme/komunisme, dan ada negara-negara yang berasaskan ideologi Islam. Sistem kapitalisme-liberalisme yang berlandas pada kebebasan individu dan persamaan dalam bidang politik, tetapi pada praktiknya menimbulkan ketidakadilan dan penjajahan dalam bidang ekonomi dan sosial.

Negara sosialisme/Marxisme yang menekankan sentralitas negara dalam kuasa satu partai tidak sejalan prinsip musyawarah dan mufakat serta gotong royong rakyat Indonesia. Sementara itu, Islam, meskipun diakui sebagai pedoman kokoh kehidupan sehari-hari, baik ruhani maupun jasmani, tapi belum melahirkan negara patron yang berhasil menyelesaikan masalah negara modern dan terkadang jatuh dalam sistem monarki (Roeslan Abdulgani. Resapkan dan Amalkan Pancasila. Jakarta: Prapanca. Cet. II. 1964. h. 62).

Di sisi lain, Soedirman Kartohadiprodjo berpendapat bahwa Pancasila mewakili jiwa bangsa Indonesia tetapi tumbuh akibat persentuhan dengan pemikiran Barat. Perjuangan pergerakan Indonesia modern, berbeda dengan perlawanan kerajaan-,kerajaan sebelumnya yang bersifat fisik. Perjuangan pergerakan Indonesia dipengaruhi oleh struktur Barat yang mampu mendominasi dunia, termasuk bangsa Indonesia. Kekuatan struktur pemikiran itu diterima oleh para kaum terdidik Indonesia dan dipakai oleh melawan penjajahan. Namun, dalam proses mengusir penjajah itulah, kaum pejuang berusaha untuk kembali ke jiwa bangsa Indonesia, dan menghindari kemerosotan batiniyah Barat (lihat Soedirman Kartohadiprodjo. Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila.Bandung: Penerbit Alumni. 1983. HM 198-201).

Pendapat Soehardiman ini mencerminkan pidato-pidato yang dikemukakan oleh Moh. Yamin, Mr. Soepomo dan Soekarno pada sidang BPUPKI tanggal 29 dan 31 Mei dan 1 Juni 1945. Mereka mencoba mencari sintesis struktur Pemikiran Barat maupun Timur yang berkembang dan memilih yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.

Moh. Yamin, misalnya, berpendapat bahwa kita tidak mungkin melanjutkan sistem Pemerintahan yang ada di Nusantara, yang didasarkan atas pewarisan kekuasaan, karena yang diinginkan sekarang adalah etat national (negara kebangsaan). Namun, yang hendak dibangun bukanlah meniru negara lain atau salinan jika bangsa lain, melainkan kelengkapan yang menyempurnakan kehidupan bangsa.(lihat Himpunan Risalah Sidang-Sidang dari BPUPKI (29 Mei 1945 - 16 Juli 1945) dan PPKI (Tanggal 18 dan 19 Agustus 1945) Terbitan Sekretariat Negara Indonesia, h. 6-8).

Untuk menggali pikiran-pikiran dunia yang turut membentuk konsepsi Pancasila dan unsur internal bangsa Indonesia sendiri hal itu bisa dilihat dalam pidato para founding father kita di BPUPKI. Pidato-pidato Yamin, Soepomo, dan Soekarno kita bisa melacak formulasi pemikiran pembentuk Pancasila. Dari pidato Soekarno sebenarnya juga bisa dilihat adanya pemandangan dari tokoh-tokoh Islam. Sayang, tidak ada dokumen yang mencatat pandangan-pandangan tersebut di BPUPKI. Toh demikian, kita bisa sedikit membahas pandang tokoh Islam yang telah dikemukakan sebelum sidang BPUPKI.
1. Pidato Moh. Yamin
Pidato Yamin menekankan untuk pencarian rlan vital gagasan kebangsaan, kemanusiaan, ketuhanan, kerakyatan itu pada adat, agama dan kekuatan pembaharuan dari dalam diri masyarakat Indonesia dan tidak mengambil dari luar. Tetapi ia menyadari bahwa tidak mungkin pula untuk mengikuti elat vital kerajaan-kerajaan yang landasannya warisan dan penghambatan kepada raja. Agama sudah berbeda, pola pikir sudah berganti, demikian pula kondisi tata dunia. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa pengaruh luar adalah cermin untuk menyempurnakan peradaban bangsa.

Dalam hal peri kebangsaan, misalnya, upaya pencarian dasar negara kita tidak mungkin melanjutkan sistem kerajaan, yang kecil-kecil, yang pernah ada di Indonesia, atau kedaulatan raja, melainkan harus memutuskan diri dari sistem tersebut. Dasar negara mesti didasarkan atas national etat atau negara kebangsaan. National etat tumbuh dari keinginan untuk bersatu dan itu sudah berlaku pada masa Sriwijaya dan Majapahit.

Prinsip permusyawaratan pun telah ada pada diri bangsa Indonesia. Hal mana bisa ditemukan dalam agama. Islam telah mengajarkan musyawarah, bahkan sejak masa Khalifah. Semangat bermusyawarah itu tetap hidup di Indonesia dengan datangnya berbagai agama.

Gagasan Moh. Yamin berisi upaya sintetis antara pengaruh luar dalam negeri, tetapi ia menolak pengaruh luar itu sebagai hal yang asing. Ia bersikeras bahwa prinsip-prinsip dasar negara yang ia kemukakan berasal dari diri bangsa Indonesia sendiri, meski konsepsinya sebenarnya berasal dari dari luar pula. Contoh paling nyata adalah prinsip kemanusiaan. Moh Yamin mengatakan: "Dasar kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia Merdeka adalah berdasar Peri-Kemanusiaan yang universeel berisi humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa." (Himpunan Risalah Sidang-Sidang dari BPUPKI (29 Mei 1945 - 16 Juli 1945) dan PPKI (Tanggal 18 dan 19 Agustus 1945) Terbitan Sekretariat Negara Indonesia, h. 10).

Halaman:

Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Penerimaan LGBT di Indonesia

Kamis, 27 Juli 2023 | 20:25 WIB

Elon Musk VS Mark Zuckerberg

Kamis, 27 Juli 2023 | 20:23 WIB

Pancasila: Ideologi Kemakmuran

Rabu, 28 Juni 2023 | 18:39 WIB

Meningkatkan Motivasi Belajar Peserta Didik

Kamis, 22 Juni 2023 | 04:01 WIB

Feedback dalam Pembelajaran

Kamis, 15 Juni 2023 | 07:31 WIB

Apakah bisa Menambah Kewenangan MPR?

Selasa, 30 Mei 2023 | 17:35 WIB

Sosok Guru Ala Pakubuwono IV

Minggu, 7 Mei 2023 | 22:36 WIB
X