KABARBUANA.COM - Yusril Ihza Mahendra dalam salah satu kuliah umum menyatakan terkait dengan problematika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Yusril Ihza Mahendra berpandangan bahwa MPR telah berubah secara fundamental setelah dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Beberapa perubahan fundamental menyangkut terkait dengan kewenangan dan komposisi anggota MPR. Sebelum adanya amandemen konstitusi. Kewenangan MPR begitu kuat. Bahkan MPR dikatakan sebagai lembaga tertinggi negara. Beberapa kewenangan MPR yang kuat seperti melakukan kedaulatan rakyat (penjelmaan rakyat), menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara, mengubah Undang-Undang Dasar, memilih Presiden dan wakil Presiden; dan lain-lain. Setelah amandemen, kewenangan MPR berubah. MPR sudah tidak dapat lagi disebut sebagai penjelmaan rakyat. MPR juga tidak bisa menetapkan gaisr-garis besar dari pada haluan negara.
Komposisi anggota MPR sebelum dengan setelah amandemen konstitusi juga berbeda. Sebelum amandemen, komposisi anggota MPR berasal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah utusan daerah dan utusan golongan. Hal tersebut agar komposisi anggota MPR benar-benar merupakan penjelmaan rakyat karena representatif dengan seluruh rakyat, daerah, dan golongan. Artinya semua rakyat, daerah, dan golongan mempunyai wakil di MPR.
Yusril Ihza Mahendra, lebih lanjut berpandangan bahwa MPR saat ini tidak representatif terhadap kelompok minoritas. Hal tersebut karena anggota MPR berasal dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih oleh rakyat. Artinya hanya yang menang Pemilihan Umum (Pemilu) yang bisa menjadi anggota MPR. Sulit bagi kelompok minoritas untuk memenangkan Pemilu dan menjadi anggota MPR. Hal tersebut karena Pemilu untuk memilih anggota DPR bukan berdasarkan keterwakilan suku, agama, ras, dan antar golongan. Tetapi berdasarkan perolehan suara dari partai politik. Belum lagi, yang boleh masuk menjadi anggota DPR adalah calon anggota DPR dari partai politik yang lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Artinya partai politik juga harus punya suara yang besar. Lewat DPD? Menjadi anggota DPD memang berdasarkan perorangan. Tetapi syarat menjadi anggota DPD harus masuk dalam empat suara mayoritas. Artinya mayoritas yang pasti menang. Minoritas sulit terakomodasi. Kondisi tersebut tentu merupakan suatu problem, jika MPR dianggap representasi rakyat. Padahal, seperti kata Yusril Ihza Mahendra, bahwa ide MPR, adalah ide asli dari Indonesia.
Yusril Ihza Mahendra kemudian mengajukan pertanyaan. Apakah MPR perlu atau tidak perlu mengeluarkan Ketetapan MPR (Tap MPR)? Pertanyaan tersebut tentu menarik untuk dijawab. Pertanyaan tersebut seakan mengarah pada kewenangan MPR. Apakah MPR masih bisa diberikan kewenangan tambahan, misalnya dengan mengeluarkan Tap MPR?
Menambah Kewenangan MPR
Menambah kewenangan MPR, bukanlah hal yang mustahil. Ada beberapa cara dalam menambah kewenangan MPR. Pertama, melakukan amandemen UUD NRI 1945. Cara paling ideal dalam menambah kewenangan MPR yaitu dengan melakukan amandemen terhadap UUD NRI 1945. Amandemen tersebut dilakukan terhadap norma yang mengatur tentang MPR. Salah satu perubahan yang dilakukan adalah dengan menambahkan norma yang memberikan kewenangan terhadap MPR. Misalnya: MPR dapat membuat ketetapan-ketetapan. Penambahan kewenangan tersebut mudah dilakukan melalui amandemen UUD NRI 1945. Pertanyaannya, apakah bisa dilakukan? Bisa jika memang MPR mau melakukan amandemen. Hanya jalan untuk melakukan amandemen tergolong cukup ketat.
UUD NRI Tahun 1945 Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ayat (2) menyatakan bahwa Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Ayat (3) menyatakan bahwa Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ayat (4) menyatakan bahwa Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ayat (5) menyatakan bahwa Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Pertanyaannya, apakah MPR mau melakukan amandemen?
Apakah tidak ada jalan lain dalam menambah kewenangan MPR, selain melakukan amandemen UUD NRI 1945? Ada. MPR dapat diberikan kewenangan lain dengan tidak harus melakukan amandemen UUD NRI 1945. Hal tersebut terjadi pada Mahkamah Konstitusi (MK). UUD NRI Tahun 1945 Pasal 24C ayat (1) menyatakan bahwa salah satu kewenangan dari MK adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22E ayat (2) menyatakan bahwa Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tidak ada dalam norma tersebut terkait dengan Pemilihan Kepala daerah (Pilkada). Artinya konstitusi tidak memberikan kewenangan kepada MK untuk memutus perselisihan tentang hasil Pilkada. Faktanya, MK mempunyai kewenangan untuk memutus perselisihan tentang hasil Pilkada. Fakta tersebut merupakan bukti bahwa tidak harus melakukan amandemen konstitusi untuk menambah kewenangan lembaga negara.
Bahkan ada lembaga negara yang tidak diatur dan diberikan kewenangan oleh konstitusi. Tetapi mempunyai kewenangan yang cukup kuat dalam melaksanakan penyelenggaraan negara. Lembaga tersebut hanya diatur dalam undang-undang. Artinya, ada peluang untuk menambah kewenangan MPR melalui undang-undang.
Akibat Penambahan Kewenangan
Penambahan kewenangan MPR melalui undang-undang tentu mempunyai akibat hukum. Akibat hukum dimaksud adalah terkait dengan kedudukan kewenangan. Kedudukan kewenangan yang bersumber dari undang-undang tentu berada di bawah kedudukan kewenangan yang bersumber dari UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut agar ada hierarki kewenangan yang tidak tumpang tindih (harmonis). Harmonisasi kewenangan tersebut harus dilihat kedudukannya berdasarkan sumber kewenangan. Mengingat Indonesia adalah negara hukum, maka sumber kewenangan harus berasal dari hukum. Disinilah hierarki hukum (perundang-undangan) menentukan kedudukan kewenangan.
Artinya kedudukan kewenangan MPR yang bersumber dari undang-undang harus berada dibawah kewenangan MPR yang bersumber dari konstitusi. Hal tersebut juga berlaku antar lembaga negara. Kewenangan DPR yang bersumber dari konstitusi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, dari kewenangan MPR yang bersumber dari undang-undang. Kewenangan MPR juga merupakan bagian dari pelaksanaan undang-undang. Oleh karena itu akibat dari kewenangan MPR tidak boleh lebih tinggi kedudukannya dari undang-undang. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Kemudian kewenangan MPR yang bersumber dari undang-undang, dalam rangka untuk mengisi kekosongan kewenangan yang belum ada pada lembaga negara lain. Kewenangan tersebut juga bersifat terbatas dan tidak bertabrakan dengan konstitusi.
Ayon Diniyanto, Dosen Hukum Tata Negara UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
===
Artikel Terkait
Sosok Guru Ala Pakubuwono IV
Perubahan Iklim: Ancaman Global yang Harus Dihadapi Bersama
Pentingnya Manifestasi untuk Mewujudkan Impian, Kamu Harus Tahu ini!
Mengentaskan Anak Buruh Migran RI di Johor Malaysia
Menilik Budaya Patriarki: Melindungi dan Mematikan yang Dilestarikan!