KABARBUANA.COM - Adanya pengaruh letak geografis yang mengakibatkan Indonesia berada di posisi silang strategis berimplikasi munculnya beragam budaya, ras, suku, bahasa dan agama yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Keanekaragaman itu hadir di sela-sela kehidupan masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek. Keanekaragaman yang terlihat indah dan menjadi kekayaan negara terbingkai dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Dari adanya perbedaan itu, masyarakat Indonesia disebut sebagai masyarakat yang majemuk atau plural atau multikultural. Masyarakat yang plural adalah masyarakat yang hidup berdampingan antara satu dengan lainnya yang berbeda latar belakang. Latar belakang itu adalah budaya, ras, agama, suku dan bahasa. Apabila kita memandang secara satu perspektif, terlihat unik sekali jika kehidupan di dalam masyarakat terdiri dari berbagai macam budaya, suku, dan lainnya. Namun, kita juga perlu ketahui bersama bahwa diantara banyak hal positif dari keadaan masyarakat yang multicultural, terdapat tantangan tersendiri yang harus di hadapi oleh kita semua sebagai Warga Negara Indonesia.
Keadaan masyarakat yang plural akan berbuah manis terhadap kemajuan bangsa itu sendiri apabila dalam proses kehidupan masyarakatnya di iringi dengan sikap saling menghormati, menghargai, dan menyadari akan perbedaan antar masyarakat berlandaskan Pancasila.
Sebaliknya, apabila tidak demikian akan berbuah pahit yang bisa mengarahkan pada perpecahan bangsa itu sendiri. Contohnya seperti kasus yang pernah terjadi di Indonesia, ada konflik antar etnis pada tahun 1998, konflik antar agama di Ambon tahun 1999, tragedi Sampit pada tahun 2001 dan masih banyak lagi. Tentu hal ini menjadi tantangan kepada kita semua sebagai Warga Negara Indonesia.
Adanya masyarakat yang plural, memang memiliki beberapa implikasi baik positif maupun efek yang memberikan tantangan tersendiri. Ada beberapa tantangan yang ada di dalam masyarakat multicultural. Pertama, yakni tantangan etnosentrisme yang berawal dari perasaan dan sikap primordialisme. Seperti yang kita ketahui bahwa primordialisme adalah sikap atau perasaan seseorang yang melekat sesuai dengan ikatan-ikatan norma atau budaya masyarakat tertentu. Atau dalam pengertian lain menurut Robuskha and Shepsle, Primordialisme adalah loyalitas yang berlebihan terhadap suatu budaya subnasional yakni seperti suku bangsa, agama, ras, kederahan dan keluarga.
Dapat di analogikan seperti misalnya seseorang yang terlahir dari suku jawa. Tentunya sikap dan perasaan seseorang itu lekat dengan aturan atau kebiasaan norma budaya kita. Namun apabila terlalu berlebihan akan menimbulkan hal yang tidak baik. Itulah primordialisme.
Dari adanya primordialisme munculah sebuah sikap etnosentrisme yakni sikap atau perasaan yang benci atau tidak suka dengan budaya lain. Karena pada dasarnya etnosentrisme ini adalah sikap mengunggul-unggulkan kebudayaannya sendiri dan menganggap kebudayaan lain tidak sebaik kebudayaan dirinya. Apabila hal itu terjadi, rentan sekali terhadap perpecahan dan konflik antar kebudayaan.
Kedua, adalah tantangan sikap intoleransi. Sikap intoleransi adalah sikap yang tidak mau menghargai dan menghormati kebudayaan lain. Sikap ini sangat bahaya dan sangat dipastikan akan ada di dalam masyarakat multicultural. Padahal sejatinya, masyarakat yang plural akan bersatu apabila di iringi oleh sikap yang sopan, saling menghargai dan menghormati. Sikap tidak mau menghargai dan menghormati perbedaan bisa di identikan misalnya adalah menganggu peribadatan agama lain, mengusik kebudayaan, dan mencela secara berlebihan serta tidak manusiawi.
Tantangan ketiga adalah tantangan permasalahan kekerasan antar umat beragama khusunya terhadap kelompok minoritas. Permasalahan tersebut juga menjadi tantangan di dalam masyarakat multikultural di Indonesia. Padahal, kelompok mayoritas dan minoritas hanyalah terletak pada perbedaan wilayah saja. Seringkali persepsi-persepsi yang kurang tepat muncul terkait kelompok minoritas yang mana menyatakan kelompok minoritas adalah kelompok yang tidak memiliki kekuatan apa-apa dan dianggap menganggu.
Dengan persepsi seperti itu erat dengan sebuah konflik yang menindas kelompok minoritas. Keempat adalah tantangan yang terakhir terkait penafsiran agama yang sempit baik dari segi literatur dan konservatif. Hal ini dapat mengancam kelompok keagamaan yang memiliki tafsir berbeda.
Salah satu upaya dalam merespon adanya tantangan di dalam masyarakat multicultural adalah dengan berupaya menghidupkan harmonisasi. Keadaan yang harmonis adalah suatu keadaan masyarakat yang rukun dan damai tanpa adanya konflik yang mengganggu ketentraman anggota masyarakatnya. Meskipun dalam keberjalanan waktu timbul masalah, mampu bersikap bijaksana dalam upaya penyelesaian masalah tersebut.
Kehidupan harmonis akan terwujud salah satunya apabila dilakukannya sistem komunikasi dan interaksi yang baik. Interaksi yang baik itu ketika dalam proses komunikasi dengan masyarakat lain yang berbeda kebudayaannya menggunakan bahasa yang santun, tidak menyakiti orang lain, dan tidak mengunggulkan bahasa daerah kebudayaannya.
Maulana Junaedi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (UNNES)
Artikel Terkait
Ini Pentingnya Journaling yang Harus Kamu Tahu, Simak Penjelasannya Berikut ini!
Menjadi Kartini yang Dirindukan!
Sosok Guru Ala Pakubuwono IV
Perubahan Iklim: Ancaman Global yang Harus Dihadapi Bersama
Pentingnya Manifestasi untuk Mewujudkan Impian, Kamu Harus Tahu ini!