Oleh Ahwan Fanani
Akar paling jelas dari Pancasila seharusnya ditemukan dalam pikiran-pikiran pergerakan nasional. Gagasan mengenai bangsa sebagai kehendak bersama untuk hidup dalam naungan satu negara adalah produk modern. Semangat revolusi Perancis dengan slogan liberte, egalite, dan fraternite, pendidikan Barat yang disediakan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dan gerakan nasionalis di kalangan keturunan Tionghoa dan Arab menjadi pemantik semangat baru pada abad ke-20.
Ada yang berpendapat bahwa gagasan dalam Pancasila sudah ada di masyarakat Nusantara sejak lama. Menurut Dardji Darmodihardjo dalam Pancasila, Suatu Orientasi Singkat terbitan Balai Pustaka Jakarta tahun 1979, sejarah bangsa Indonesia abad ke-7 sampai abad ke-16 menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sudah memenuhi syarat sebagai bangsa dengan kemampuan mendirikan negara besar, seperti Sriwijaya dan Majapahit. Unsur-unsur Pancasila, seperti Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Pemerintahan Berdasarkan Musyawarah, dan Keadilan Sosial sudah menjiwai bangsa saat itu.
Namun, argumentasi itu bersifat mencakup tapi tidak membatasi. Semua manusia yang punya negara, baik orang Jepang, Tionghoa, Eropa, Arab, Afrika dan lainnya, pasti mengembangkan nilai-nilai tersebut. Jika demikian, apakah ide Pancasila ada padabangsa-bangsa tersebut sehingga Pancasila adalah jiwa umat manusia? Tentu tidak demikian yang dimaksud. Sudah barang tentu semangat ber-Tuhan atau percaya kepada dzat spiritual itu sudah ada pada bangsa Indonesia sejak dahulu, tetapi sebagai kekuatan untuk mendorong lahirnya bangsa dan negara Indonesia tidak lepas dari gerakan kebangkitan nasional abad ke-20.
Anthony J.S Reid dalam buku The Indonesian National Revolutionary (diterjemahkan dengan Revolusi Nasional Indonesia oleh Pericles G. Katoppo dan diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan Jakarta tahun 1996) menjelaskan bahwa arus gerakan kebangsaan di Indonesia bermula dari masyarakat urban multietnik, yang tidak lagi melihat kelompok mereka berdasarkan suku, tetapi berdasarkan persaingan mereka dengan bangsa Eropa dan Cina dan berkat pendidikan yang dibuka lebih luas untuk kalangan priyayi oleh Pemerintah kolonial.
Penjelasan Reid ini cukup masuk akal mengingat berdirinya Serikat Dagang Islamiyyah oleh Samanhudi di Solo tahun 1911, dan Serikat Dagang Islamiyyah oleh RM Tirtoadisoerjo di Batavia dan Bogor tahun 1908 menandai kesadaran terhadap bangsa yang terpinggirkan. Tirtoadisoerjo kemudian mendirikan koran Medan Prijaji, koran pertama yang didirikan kaum pribumi untuk membela kaum kromo atau masyarakat kecil pada tahun 1909.
Kebangkitan kalangan priyayi terdidik inilah yang menyemangati arus pergerakan nasional. Kebangkitan Nasional didorong oleh dua faktor, yaitu: faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah kesadaran kaum terpelajar atas penindasan oleh sistem kolonial. Faktor ekstern adalah perkembangan dunia yang mempengaruhi kaum terpelajar. (lihat Fauzi, Sutomo, Aahyuningsih, dan Noor Syam. Pancasila Ditinjau dari Segi Historis, Segi Yuridis Konstitusional dan Sego Filisofis. Malang: Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya. Cet. 3. 1983. h. 31).
Kalangan pelajar ini berkembang dari sekolah-sekolah, seperti STOVIA Batavia, OSVIA, atau sekolah Teknik di Bandung. Berdirinya Budi Utomo adalah satu penanda munculnya kesadaran diri dari kalangan terdidik untuk memikirkan masyarakatnya, bukan sekedar belajar, mengejar karir, dan hidup sebagai aristokrat. Pada tahun 1920-an, kelompok pelajar itu mengelompokkan diri dalam kelompok-kelompok kajian yang menandai penguatan gagasan nasionalisme di kalangan kaum terpelajar.
a. Kekuatan Agama
Namun, kekuatan pertama yang mampu menggerakkan perlawanan pada Pemerintah Kolonial adalah Islam. Oleh karena itu, menurut Reid, gerakan massa anti-kolonial pertama menggunakan nama Sarekat Islam, yang dipimpin oleh seorang Priyayi H.O.S Cokroaminoto. Kata Islam menyiratkan bukan sekedar menyiratkan semangat agama, tetapi juga kepemilikan pribumi atas wilayahnya.
Pada era baru abad ke-20 ini, banyak pula organisasi berbasis Islam yang berdiri. Ada Jamiatul Khoiriyah, ada Muhammadiyah, ada Persatuan Islam, ada Nahdlatul Ulama dan sebagainya. Deliar Noer memasukkan gerakan-gerakan Islam tersebut sebagai gerakan nasional karena mereka mengadopsi satu sistem otoritas modern, yaitu organisasi. Berorganisasi atau berserikat ini bisa kita sebut sebagai elemen dasar dari kebangkitan Nasional. Dalam hal ini, orang-orang Tionghoa dan Arab mendahului dan memberi teladan tentang satu gerakan berserikat.
Agama sering menjadi landasan perlawanan kepada penindasan atau kekuatan asing. Perlawanan Sultan Hasanuddin, Rakyat Aceh, Kerajaan Ternate dan Tidore, sampai perlawanan Diponegoro memiliki dorongan keagamaan. Bahkan, Pemberontakan Petani Banten tahun 1888, sebagai protes terhadap pajak yang tinggi dan kesulitan hidup akibat kebijakan tanam paksa, juga diwarnai dengan semangat keagamaan.
Kekuatan agama ini disadari oleh Jepang saat datang ke Indonesia. Mereka mencoba merebut hati masyarakat dengan mengangkat peran tokoh-tokoh agama sehingga berdiri. Jepang mendirikan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) tahun (1943) sebagai konfederasi kelompok-kelompok Islam yang diketuai KH. Hasyim Asy'ari dengan K.H. Mas Mansur sebagai wakilnya, setelah sebelumnya berdiri Shumubu akhir tahun 1942, yang diisi oleh kekuatan agama (Islam) sebagai bagian dari Pemerintah Militer Jepang. Masyumi menggantikan konfederasi yang berdiri pada tahun 1936, yaitu Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) yang dipimpin Kiai Hasyim Asy'ari. Jepang menggerakkan kekuatan masyarakat melalui PUTERA, yang diisi oleh gabungan tokoh agama dan tokoh nasionalis (Soekarno, Hatta, K.H. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara).
b. Ketajaman Analisis Sosialisme