Oleh Ahwan Fanani
Jika ada pertanyaan: "Dari mana datangnya Pancasila?", maka pikiran kita mungkin akan teringat mengenai pidato Sukarno di depan Sidang Badan Penyidik PKI tanggal 1 Juni 1945, Jakarta Charter atau Piagam Jakarta tanggal 23 Juni 1945, atau pengesahan UUD 1945, tempat Pancasila secara resmi tercantum dalam pembukaannya, pada tanggal 18 Agustus 1945. Tanggal-tanggal tersebut menandai keberadaan Pancasila sebagai rumusan dasar negara dan filsafat kenegaraan
Tetapi tidak mungkin begitu saja gagasan-gagasan dalam Pancasila muncul begitu saja pada bulan Juni - Agustus 1945. Jika gagasan mengenai Pancasila baru lahir tahun 1945, tidak mungkin ia mampu mewadahi arus semangat perjuangan dan karakter bangsa Indonesia. Jika ide-ide dalam Pancasila lahir dari satu kepala saja, tanpa mewadahi ide-idr yang hidup di dalam alam pikir masyarakat, akan sulit ia bertahan sebagai filsafat dan ideologi negara serta mendapatkan dukungan luas hingga saat ini.
Oleh karena itu, Soekarno menyatakan bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia, demikian dalam orasinya pada peringatan lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1964. Pernyataannya itu di satu sisi menegaskan adanya keterkaitan Pancasila dengan gagasan yang ada sebelum kemerdekaan, namun di sisi lain pernyataan tersebut bisa menimbulkan kerancuan.
Pertama, kebangkitan kesadaran nasional baru tumbuh pada awal abad ke-20 dan sebelum itu sulit dilacak kesadaran bersama rakyat Indonesia sebagai satu kesatuan. Kedua, ide-ide Pancasila tumbuh bersama kesadaran bangsa-bangsa yang terjajah untuk bangkit dan melepaskan dari dari eksploitasi penjajahan.
Dus, untuk melacak akar Pancasila, perlu digali berbagai konteks yang membuat ide-ide pembentuk Pancasila itu eksis. Pertama adalah kisah rakyat, seperti Kisah Pembuangan Soekarno di Ende. Kedua, konteks politik Nasional abad ke-20. Ketiga, pengaruh Gagasan dunia. Keempat, perdebatan dasar negara.
1. Kisah dari Ende
Ada cerita yang beredar di kalangan masyarakat Ende bahwa Soekarno merenungkan Pancasila sejak di Ende, wilayah Nusa tenggara Timur saat ini. Soekarno berada di Ende pada 14 Januari 1934 sampai 28 Oktober 1938, atau lebih dari 4,5 tahun, sebelum dipindah ke Bengkulu. Ia tinggal di masyarakat lintas agama, yaitu muslim dan Katholik. Ia tinggal di rumah Haji Abdullah Amburawu di Kampung Ambugaga, kelurahan Kota Ratu. Ia melakukan surat menyurat dengan para tokoh di Jawa dengan perantaraan pedagang keturunan Tionghoa, dan bersahabat dengan Pastur Ende.
Soekarno sering bermain ke satu pusat kegiatan Katholik untuk membaca buku di perpustakaan di sana. Ia juga membentuk kelompok Tonil (drama) dan beberapa kali tampil di gedung Imakulata, gedung Paroki Katedral yang dipimpinan oleh Pater Huijtink. Ia menulis 12 naskah sandiwara untuk tokoh Tonilnya. Ia berdialog dengan tokoh-tokoh di sana, di antaranya pastur yang memimpin gereja tersebut. Kisah ini dimuat oleh Tim Nusa Indah dalam Bung Karno dan Pancasila: Ilham dari Flores untuk Nusantara, terbitan Penerbit Nusa Indah Ende tahun 2015 (Cetakan ke-3).
Suatu saat, konon Si Pastur bertanya pada Soekarno. "Dimanakah posisi kami (orang Kristen) di negara yang akan anda bangun?" Pertanyaan Pastur itu membuat Soekarno merenung di pinggir pantai di dekat pantai, di bawah pohon sukun di sana. Proses perenungan itulah yang melahirkan Pancasila.
Soekarno juga mempelajari lebih dalam kebudayaan Hindu-Jawa dan agama Islam. Karena itu, saat duduk di dekat pohon sukun di Pantai Ende, ia melihat pekerjaan Trimurti (Brahma, Wisnu, dan Syiwa) di pohon tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa Soekarno cukup familier dengan tradisi Hindu-Jawa.
Untuk yang kedua ini, ia melakukan surat menyurat dengan Ahmad Hassan, seorang tokoh Islam pembaharu di Bandung. Surat-surat Soekarno dimuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I, tanpa surat balasan dari A. Hassan. Di Ende inilah Soekarno mulai membuang keyakinan-keyakinan takhyulnya, termasuk dengan cincin yang ia percaya membawa keberuntungan. (Lihat Cindy Adams. _Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Yogyakarta: PT Media Pressindo dan Yayasan Bung Karno. Cet. ke-3, 2014).
Kisah Soekarno merenungkan Pancasila di Ende tersebut tentu menjadi khazanah kultural yang menjustifikasi Pancasila sebagai perwujudan realitas sosial di Indonesia sebelum kemerdekaan. Namun, kisah tersebut terlalu menyederhanakan masalah dan sulit menggambarkan secara utuh bagaimana ide-ide dalam Pancasila muncul. Selain itu, Soekarno sendiri dalam biografi yang ditulis oleh Cindy Adams di atas tidak menceritakan kisah perenungan Pancasila tersebut.
Kisah tersebut menjadikan Pancasila terlalu Soekarno sentris, meskipun harus diakui berkat dokumentasi tulisan-tulisan Soekarno, berbagai gagasan yang tumbuh di kalangan kaum kebangsaan mudah dilacak. Namun pemahaman lebih utuh mengenai ide-ide Pancasila itu harus dilihat pula pada pikiran-pikiran yang berkembang di kalangan para tokoh atau kelompok pergerakan nasional (Bersambung).